Tujuan utama puasa
adalah takwa. Itu bisa
dicapai dengan
menghayati hakikat dan
kewajiban manusia
yakni sebagai khalifah
(pengganti) Tuhan
untuk merealisasikan
bayangan surga di
bumi.
M Quraish Shihab, guru
besar tafsir Universitas
Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
dalam bukunya
Membumikan Al-Qur’an
menulis, meski puasa
telah lama dikenal oleh
umat manusia, bukan
bararti usang atau
ketinggalan zaman.
Generasi abad 21 ini,
masih melakukannya
dengan berbagai motif
dan dorongan.
Puasa dalam arti
‘mengendalikan
mengendalikan dan
menahan diri untuk tidak
makan dan minum dalam
waktu tertentu’ dilakukan
antara lain dengan tujuan
memelihara kesehatan
atau merampingkan
tubuh. Atau, dalam
bentuk mogok makan
sebagai pertanda protes
atas perlakuan pihak lain.
Puasa juga dilakukan
sebagai tanda solidaritas
atas malapetaka yang
menimpa teman atau
saudara. Puasa semacam
ini terdapat pada
beberapa suku di India
dan lainnya yang hingga
kini masih berlaku. “Puasa
dengan aneka ragam
tujuan dan bentuk
tersebut dihimpun oleh
satu esensi, yaitu
pengendalian diri,” imbuh
Quraish.
Puasa yang dilakukan
umat Islam, digarisbawahi
oleh Al-Qur’an, bertujuan
untuk memperoleh takwa.
Menurut Quraish, tujuan
tersebut akan tercapai
dengan menghayati arti
puasa itu sendiri. “Untuk
memahami dan
menghayati arti puasa,
memerlukan pemahaman
terhadap dua hal pokok
menyangkut hakikat
manusia dan
kewajibannya di bumi ini,”
ujarnya.
Pertama, manusia
diciptakan oleh Tuhan dari
tanah, kemudian
dihembuskan kepadanya
Ruh ciptaan-Nya dan
diberikan potensi untuk
mengembangkan dirinya
hingga mencapai satu
tingkat yang
menjadikannya wajar
untuk menjadi khalifah
(pengganti) Tuhan dalam
memakmurkan bumi ini.
Dalam Kitab Perjanjian
Lama, demikian pula
dalam kitab-kitab Hadits,
ditemukan bahwa Tuhan
menciptakan manusia
menurut ‘petanya’ dalam
arti diberi potensi untuk
memiliki sifat-sifat Tuhan
sesuai dengan
kemampuannya sebagai
makhluk.
Kedua, dalam perjalanan
manusia menuju bumi, ia
(Adam) melewati (‘transit’
di) surga, agar
pengalaman yang
diperolehnya di sana
dapat dijadikan bekal
dalam menyukseskan
tugas pokoknya di bumi
ini. Pengalaman tersebut
antara lain adalah
persentuhannya dengan
keadaan di surga itu
sendiri.
Di surga, lanjut Quraish,
tersedia segala macam
kebutuhan manusia
seperti sandang, pangan,
serta ketenteraman lahir
dan batin (QS 20: 118-119
dan QS 56: 25). Hal ini
mendorongnya untuk
menciptakan bayangan
surga di bumi,
sebagaimana
pengalamannya dengan
setan mendorongnya
untuk hati-hati agar tidak
terpedaya lagi sehingga
mengalami kepahitan
yang dirasakan ketika
terusir dari surga.
Sumber:Inilah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar