gerakan

gerakan
menanam1

Jumat, 29 Maret 2013

Askep Ablasio Retina

Pengertian Ablasio Retina


Ablasio retina terjadi bila ada pemisahan retina neurosensori dari lapisan epitel berpigmen  retina dibawahnya karena retina neurosensori, bagian retina yang mengandung batang dan kerucut, terkelupas dari epitel berpigmen pemberi nutrisi, maka sel fotosensitif ini tak mampu melakukan aktivitas fungsi visualnya dan berakibat hilangnya penglihatan (C. Smelzer, Suzanne, 2002).
Ablasio retina adalah suatu penyakit dimana lapisan sensorik dari retina lepas. Lepasnya bagian sensorik retina ini biasanya hampir selalu didahului oleh terbentuknya robekan atau lubang di dalam retina, lepasnya lapisan saraf retina dari epitelium (P.N Oka, 1993).

Penyebab Ablasio Retina


a.         Malformasi kongenital
b.         Kelainan metabolisme
c.         Penyakit vaskuler
d.         Inflamasi intraokuler
e.         Neoplasma
f.          Trauma
g.         Perubahan degeneratif dalam vitreus atau retina
(C. Smelzer, Suzanne, 2002).

Manifestasi Klinis Ablasio Retina


•           Riwayat melihat benda mengapung atau pendaran cahaya atau keduanya
•           Floater dipersepsikan sebagai titik-titik hitam kecil/rumah laba-laba
•           Pasien akan melihat bayangan berkembang atau tirai bergerak dilapang pandang ketika retina benar-benar terlepas dari epitel berpigmen
•           Penurunan tajam pandangan sentral aau hilangnya pandangan sentral menunjjukkan bahwa adanya keterlibatan makula

Penatalaksanaan


  • Tirah baring dan aktivitas dibatasi
  • Bila kedua mata dibalut, perlu bantuan oranglain untuk mencegah cidera
  • Jika terdapat gelombang udara di dalam mata, posisi yang dianjurkan harus dipertahannkan sehingga gas mampu memberikan tamponade yang efektif pada robekan retina
  • Pasien tidak boleh terbaring terlentang
  • Dilatasi pupil harus dipertahankan untuk mempermudah pemeriksaan paska operasi

Cara Pengobatannya:

•           Prosedur laser
Untuk menangani ablasio retina eksudatif/serosa sehubungan dengan proses yang berhubungan dengan tumor atau inflamasi yang menimbulkan cairansubretina yang tanpa robekan retina.
Tujuannya untuk membentuk jaringan parut pada retina sehingga melekatkannya ke epitel berpigmen.
•           Pembedahan
Retinopati diabetika /trauma dengan perdarahan vitreus memerlukan pembedahan vitreus untuk mengurangi gaya tarik pada retina yang ditimbulkan.
Pelipatan (buckling) sklera merupakan prosedur bedah primer untuk melekatkan kembali retina.
•           Krioterapi transkleral
Dilakukan pada sekitar tiap robekan retina menghasilkan adhesi korioretina yang melipat robekan sehingga cairan vitreus tak mampu lagi memasuki rongga subretina. Sebuah/ beberapa silikon (pengunci) dijahitkan dan dilipatkan ke dalam skler, secara fisik akan mengindensi/melipat sklera, koroid, danlapisan fotosensitif ke epitel berpigmen, menahan robekan ketika retina dapat melekat kembali ke jaringan pendukung dibawahnya, maka fungsi fisiologisnya ormalnya dapat dikembalikan. (C. Smelzer, Suzanne, 2002).

Komplikasi Ablasio Retina


a.         Komplikasi awal setelah pembedahan
  • Peningkatan TIO
  • Glaukoma
  • Infeksi
  • Ablasio koroid
  • Kegagalan pelekatan retina
  • Ablasio retina berulang
b.         Komplikasi lanjut
  • Infeksi
  • Lepasnya bahan buckling melalui konjungtiva atau erosi melalui bola mata
  • Vitreo retinpati proliveratif (jaringan parut yang mengenai retina)
  • Diplopia
  • Kesalahan refraksi
  • Astigmatisme

Pemeriksaan Diagnostik Dan Penunjang

1. Anamnesis
Gejala yang sering dikeluhkan pasien, adalah:
a. Floaters (terlihat benda melayang-layang), yang terjadi karena adanya kekeruhan
di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau degenerasi vitreus itu
sendiri.
b. Fotopsia/ light flashes (kilatan cahaya) tanpa adanya cahaya di sekitarnya, yang
umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam
keadaan gelap.
c. Penurunan tajam penglihatan. Pasien mengeluh penglihatannya sebagian
seperti tertutup tirai yang semakin lama semakin luas. Pada keadaan yang telah
lanjut dapat terjadi penurunan tajam penglihatan yang lebih berat.
2. Pemeriksaan Oftalmologi
a. Pemeriksaan visus, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat terlibatnya
makula lutea ataupun terjadi kekeruhan media penglihatan atau badan kaca yang
menghambat sinar masuk. Tajam penglihatan akan sangat menurun bila makula
lutea ikut terangkat.
b. Pemeriksaan lapangan pandang, akan terjadi lapangan pandang seperti tertutup
tabir dan dapat terlihat skotoma relatif sesuai dengan kedudukan ablasio retina,
pada lapangan pandang akan terlihat pijaran api seperti halilintar kecil dan
fotopsia.
c. Pemeriksaan funduskopi, yaitu salah satu cara terbaik untuk mendiagnosis
ablasio retina dengan menggunakan binokuler indirek oftalmoskopi. Pada
pemeriksaan ini ablasio retina dikenali dengan hilangnya refleks fundus dan
pengangkatan retina. Retina tampak keabu-abuan yang menutupi gambaran
vaskuler koroid. Jika terdapat akumulasi cairan bermakna pada ruang subretina,
didapatkan pergerakkan undulasi retina ketika mata bergerak. Suatu robekan pada
retina terlihat agak merah muda karena terdapat pembuluh koroid dibawahnya.
Mungkin didapatkan debris terkait pada vitreus yang terdiri dari darah dan pigmen
atau ruang retina dapat ditemukan mengambang bebas.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit
penyerta antara lain glaukoma, diabetes mellitus, maupun kelainan darah.
b. Pemeriksaan ultrasonografi, yaitu ocular B-Scan ultrasonografi juga digunakan
untuk mendiagnosis ablasio retina dan keadaan patologis lain yang menyertainya
seperti proliverative vitreoretinopati, benda asing intraokuler. Selain itu
ultrasonografi juga digunakan untuk mengetahui kelainan yang menyebabkan
ablasio retina eksudatif misalnya tumor dan posterior skleritis.
c. Pemeriksaan angiografi fluoresin akan terlihat:
1) Kebocoran didaerah parapapilar dan daerah yang berdekatan dengan
tempatnya ruptur, juga dapat terlihat
2) Gangguan permeabiltas koriokapiler akibat rangsangan langsung badan kaca
pada koroid.
3) Dapat dibedakan antara ablasi primer dan sekunder
4) Adanya tumor atau peradangan yang menyebabkan ablasi

Rencana Asuhan Keperawatan Ablasio Retina


1. 11 Pendekatan Fungsional Gordon
a. Data Klinis
•Data Biografi
Berupa nama pasien, usia, TB, BB, Tanggal masuk, TD, RR, Nadi dan Suhu .
•Keluhan Utama
Pasien biasanya melaporkan:
- Riwayat melihat benda mengapung atau pendaran cahaya atau keduanya.
- Pasien akan melihat bayangan berkembang atau tirai bergerak dilapang
pandang, mengakibatkan pandangan kabur dan kehilangan lapang
pandang.
- Penurunan tajam pandangan sentral atau hilangnya pandangan sentral
menunjukkan bahwa adanya keterlibatan macula.
•Riwayat perjalanan penyakit
- Tanyakan sejak kapan pasien merasa melihat benda mengapung atau
pendaran cahaya atau keduanya.
- Tanyakan sejak kapan pasien melihat bayangan berkembang atau tirai
bergerak dilapang pandang, yang mengakibatkan pandangan kabur.
- Tanyakan sejak kapan pasien mengalami penurunan tajam pandangan
sentral atau hilangnya pandangan sentral.
•Riwayat kesehatan masa lalu
- Apakah klien ada riwayat penyakit diabetes mellitus.
- Apakah pernah mengalami trauma pada mata.
•Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada keluarga yang menderita penyakit ini sebelumnya.
b. Persepsi dan Penanganan Kesehatan
•Tanyakan kepada klien tentang gambaran kesehatannya secara umum saat ini.
•Tanyakan alasan kunjungan klien dan harapan klien terhadap penyakitnya.
•Tanyakan gambaran terhadap sakit yang dirasakan klien, penyebabnya, dan
penanganan yang dilakukan.
•Tanyakan apa dan bagaimana tindakan yang dilakukan klien dalam menjaga
kesehatannya.
•Tanyakan kepada klien apakah klien pernah menggunakan obat resep dokter
dan warung.
•Tanyakan kepada klien apakah klien seorang perokok, alkoholik, atau
mengonsumsi tembakau.
•Tanyakan kepada klien tentang riwayat kesehatan keluarganya. Apakah ada
anggota keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama.
c. Nutrisi-Metabolik
•Tanyakan pada klien tentang gambaran yang biasa dimakan dan frekuensi
makannya.
•Tanyakan apakah klien mempunyai riwayat alergi.
•Tanyakan bagaiamana proses penyembuhan luka pada klien (cepat-lambat).
d. Eliminasi
•Tanyakan kepada klien bagaimana kebiasaan defekasi dan eliminasinya.
Aktivitas-Latihan
•Tanyakan bagaimana klien melakukan aktivitasnya sehari-hari, seperti: mandi,
berpakaian, eliminasi, mobilisasi ditempat tidur, merapikan rumah, ambulasi,
dan makan, apakah mandiri atau dibantu orang lain.
f. Tidur-Istirahat
•Tanyakan waktu, frekuensi dan kualitas tidur klien.
g. Kognitif-Persepsi
•Kaji status mental dan bicara klien.
•Tanyakan apakah ada kesulitan dalam mendengar dan melihat.
h. Peran-Hubungan
•Tanyakan bagaimana status pekerjaan klien.
•Tanyakan bagaimana hubungan klien dengan keluarga dan orang disekitarnya.
•Tanyakan bagaimana status pernikahan klien.
i. Seksualitas-Reproduksi
•Tanyakan bagaimana hubungan seksualitas klien.
•Kaji apakah klien telah menopause.
j. Koping-Toleransi Stress
•Tanyakan apakah klien pernah mengalami perubahan besar dimasa lalunya
dan bagaimana cara klien menghadapinya.
k. Nilai-Kepercayaan
•Tanyakan agama klien dan bagaimana pengaruh agama pada kehidupan klien
sehari-hari.


Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Terjadi


Perubahan persepsi sensori melihat berhubungan dengan efek dari lepasnya saraf sensori dari retina.
Tujuan:
Tidak terjadi kehilangan penglihatan yang berlanjut.
Kriteria:
Klien memahami pentingnya perawatan yang intensif / bedrest total.
Klien mampu menjelaskan rresiko yang akan terjadi sehubungan dengan penyakitnya.
Intervensi:
Ajarkan klien untuk bedrest total. Rasional : agar lapisan saraf yang terlepas tidak bertambah parah.
Berikan penjelasan tujuan bedrest total. Rasional: agar klien mematuhi dan mengerti maksud perlakuan bedrest total.
Hindari pergerakan yang mendadak, menghentakkan kepala, batuk, bersin, muntah. Rasional : mencegah bertambah parahnya lapisan saraf retina yang terlepas.
Jaga kebersihan mata. Rasional: mencegah terjadinya infeksi.
Berikan obat tetes mata midriatik-sikloplegik dan obat oral sesuai anjuran dokter. Rasional: dengan pemberian obat-obatan diharapkan kondisi penglihatan dapat dipertahankan / tidak tertambah parah.

Ansietas yang berhubungan dengan ancaman kehilangan penglihatan
Tujuan:
Klien mampu menggambarkan ansietas dan pola kopingnya.
Klien mengerti tentang tujuan perawatan yang diberikan.
Klien memahami tujuan operasi, pelaksanaan operasi, pasca operasi, prognosisnya bila dilakukan operasi.
Intervensi :
Kaji tingkat ansietas klien (ringan, sedang, berat, panik). Rasional: untuk mengetahui sejauh mana tingkat kecemasan klien sehingga memudahkan penanganan / pemberian askep selanjutnya.
Berikan kenyamanan dan ketenteraman hati. Rasional: agar klien tidak terlalu memikirkan penyakitnya.
Berikan penjelasan mengenai prosedur perawatan, perjalanan penyakit dan prognosenya. Rasional: agar klien mengetahui / memahami bahwa ia benar sakit dan perlu dirawat.
Berikan / tempatkan alat pemanggil yang mudah dijangkau oleh klien. Rasional: agar klilen merasa aman dan terlindungi saat memerlukan bantuan.
Gali intervensi yang dapat menurunkan ansietasnya. Rasional: untuk mengetahui cara yang efektif menurunkan / mengurangi ansietas klien.
Berikan aktivitas yang dapat menurunkan kecemasan / ketegangan. Rasional: agar klien dengan senang hati melakukan aktivitas karena sesuai dengan keinginanya dan tidak bertentangan dengan program perawatan.

Resiko terhadap ketidak efektifan penatalaksanaan program terapeutik yang berhubungan dengan ketidak cukupan pengetahuan tentang aktivitas yang diperbolehkan dan yang dibatasi, obat-obatan, komplikasi danperawatan tindak lanjut.
Tujuan :
Klien mampu berintegrasi dengan program terapeutik yang direncanakan / dilakukan untuk pengobatan akibat dari penyakit dan penurunan situasi beresiko (tidak aman, polusi).
Kriteria:
Klien mengungkapkan ansietas berkurang tentang ketakutan karena ketidak tahuan, kehilangan kontrol dan kesalahan persepsi.
Menggambarkan proses penyakit, penyebab dan faktor penunjang pada gejala dan aturan untuk penyakit atau kontrol gejala.
Mengungkapkan maksud / tujuan untuk melakukan perilaku kesehatan yang diperlukan dan keinginan untuk pulih dari penyakit dan pencegahan kekambuhan atau komplikasi.
Intervensi:
Identifikasi faktor-faktor penyebab yang menghalangi penatalaksanaan program terapeutik yang efektif. Rasional: agar diketahui penyebab yang menghalangi sehingga dapat segera diatasi sesuai prioritas.
Bangun rasa percaya diri. Rasional: agar klien mampu melakukan aktifitas sendiri / dengan bantuan orang lain tanpa mengganggu program perawatan.
Tingkatkan rasa percaya diri dan kemampuan diri klien yang positif. Rasional: agar klien mampu dan mau melakukan / melaksanakan program perawatan yang dianjurkan tanpa mengurangi peran sertanya dalam pengobatan / perawatan dirinya.
Jelaskan dan bicarakan : proses penyakit, aturan pengobatan / perawatan, efek samping prognosis penyakitnya. Rasional : agar klien mengerti dan menyadari bahwa penyakitnya memerlukan suatu tindakan dan perlakuan yang tidak menyenagkan.



Daftar Pustaka


C. Smeltzer, Suzanne (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Brunner & Suddart) . Edisi 8. Volume 3. EGC. Jakarta
Brooker, Christine. 2001. “Buku Saku Keperawatan Edisi 31”. Jakarta: EGC.
Hazil, Maryadi. 2009. “Askep Ablasio Retina”.
Ilyas, Sidarta. 2009. “Ilmu Penyakit Mata”. Jakarta: FKUI.
Johnson, Marion, dkk. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC). USA
McCloskey, Joanne C and Gloria M.Bulecheck.1996. Nursing Interventions
Classification (NIC). USA
Smeltzer, Suzanne C. 2002. “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner dan
Suddarth Edisi 8”. Jakarta: EGC.
Wiley and Blackwell. 2009. Nursing Diagnosis Defenitions and Classification 2009-
2011. USA.

Asuhan Keperawatan Tuberkulosis ( TB )


 

Pengertian Tuberkulosis ( TBC )
  • Tuberkulosis (TBC) adalah  penyakit akibat kuman Mycobakterium  tuberkculosis sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif Mansjoer, 2000).
  • Tuberkulosis  paru adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Suzanne dan Brenda, 2001).
  • Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru (Smeltzer, 2001).
  • Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis yang hampir seluruh organ tubuh dapat terserang olehnya, tapi yang paling banyak adalah paru-paru (IPD, FK, UI).
Etiologi Tuberkulosis ( TBC )
Agens infeksius utama, mycobakterium tuberkulosis adalah batang aerobik tahan asam ( Price , 1997 ) yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultra violet, dengan ukuran panjang 1-4 /um dan tebal 0,3 – 0,6/um.
Klasifikasi Tuberkulosis ( TBC )
a.       Pembagian secara patologis :
  • Tuberkulosis  primer ( Child hood tuberculosis ).
  • Tuberkulosis post primer ( Adult tuberculosis ).
b.      Berdasarkan pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi 2 yaitu :
  • Tuberkulosis Paru BTA positif.
  • Tuberkulosis Paru BTA negative
c.       Pembagian secara aktifitas radiologis :
  • Tuberkulosis paru ( Koch pulmonal ) aktif.
  • Tuberkulosis non aktif .
  • Tuberkulosis quiesent ( batuk aktif yang mulai sembuh ).
d.      Pembagian secara radiologis ( Luas lesi )
  • Tuberculosis minimal, yaitu terdapatnya sebagian kecil infiltrat non kapitas pada satu paru maupun kedua paru, tapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
  • Moderateli advanced tuberculosis, yaitu  adanya kapitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm, jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari satu pertiga bagian satu paru.
  • For advanced tuberculosis, yaitu terdapatnya infiltrat dan kapitas yang melebihi keadaan pada moderateli advanced tuberculosis.
e.       Berdasarkan aspek kesehatan masyarakat pada tahun 1974 American Thorasic Society memberikan klasifikasi baru:
  • Karegori O, yaitu tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak tidak pernah, tes tuberculin negatif.
  • Kategori I, yaitu terpajan tuberculosis tetapi tidak tebukti adanya infeksi, disini riwayat kontak positif, tes tuberkulin negatif.
  • Kategori II, yaitu terinfeksi tuberculosis tapi tidak sakit.
  • Kategori III, yaitu terinfeksi tuberculosis dan sakit.
f.        Berdasarkan terapi WHO membagi tuberculosis menjadi 4 kategori :
  • Kategori I : ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan kasus baru dengan batuk TB berat.
  • Kategori II : ditujukan terhadap kasus kamb uh dan kasus gagal dengan sputum BTA positf.
  • Kategori III : ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas dan kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I.
  • Kategori IV : ditujukan terhadap TB kronik.

Patofisiologi Tuberkulosis ( TBC )

Manifestasi Klinis Tuberkulosis ( TBC )
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
Gejala sistemik/umum, antara lain sebagai berikut:
  • Gejala umum Tb paru adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum , malaise , gejala flu , demam ringan , nyeri dada , batuk darah . ( Mansjoer , 1999)
  • Gejala lain yaitu kelelahan, anorexia, penurunan Berat badan ( Luckman dkk, 93 )
Gejala khusus, antara lain sebagai berikut:
  • Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.
  • Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
  • Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
  • Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Komplikasi Tuberkulosis ( TBC )
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
  • Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas.
  • Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
  • Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
  • Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.
Pemeriksaan Diagnostik Tuberkulosis ( TBC )
a.       Pemeriksaan Laboratorium
  • Kultur Sputum : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis pada tahap aktif penyakit
  • Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah) : Positif untuk basil asam-cepat.
  • Tes kulit (Mantoux, potongan Vollmer) : Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradcrmal antigen) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh mikobakterium yang berbeda.
  • Anemia bila penyakit berjalan menahun
  • Leukosit ringan dengan predominasi limfosit
  • LED meningkat terutama pada fase akut umumnya nilai tersebut kembali normal pada tahap penyembuhan.
  • GDA : mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat dan sisa kerusakan paru.
  • Biopsi jarum pada jaringan paru : Positif untuk granuloma TB; adanya sel raksasa menunjukkan nekrosis.
  • Elektrolit : Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi; contoh hiponatremia disebabkan oleh tak normalnya retensi air dapat ditemukan pada TB paru kronis luas.
b.      Radiologi
  • Foto thorax : Infiltrasi lesi awal pada area paru atas simpanan kalsium lesi sembuh primer atau efusi cairan perubahan menunjukan lebih luas TB dapat termasuk rongga akan fibrosa. Perubahan mengindikasikanTB yang lebih berat dapat mencakup area berlubang dan fibrous. Pada foto thorax tampak pada sisi yang sakit bayangan hitam dan diafragma menonjol ke atas.
  • Bronchografi : merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronchus atau kerusakan paru karena TB.
  • Gambaran radiologi lain yang sering menyertai TBC  adalah penebalan pleura, efusi pleura atau empisema, penumothoraks (bayangan hitam radio lusen dipinggir paru atau pleura).
c.       Pemeriksaan fungsi paru
Penurunan kualitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara residu: kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural.
Pencegahan Tuberkulosis ( TBC )
  • Imunisasi BCG pada anak balita, Vaksin BCG sebaiknya diberikan sejak anak masih kecil agar terhindar dari penyakit tersebut.
  • Bila ada yang dicurigai sebagai penderita TBC maka harus segera diobati sampai tuntas agar tidak menjadi penyakit yang lebih berat dan terjadi penularan.
  • Jangan minum susu sapi mentah dan harus dimasak.
  • Bagi penderita untuk tidak membuang ludah sembarangan.
  • Pencegahan terhadap penyakit TBC dapat dilakukan dengan tidak melakukan kontak udara dengan penderita, minum obat pencegah dengan dosis tinggi dan hidup secara sehat. Terutama rumah harus baik ventilasi udaranya dimana sinar matahari pagi masuk ke dalam rumah.
  • Tutup mulut dengan sapu tangan bila batuk serta tidak meludah/mengeluarkan dahak di sembarangan tempat dan menyediakan tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain yang dianjurkan dokter dan untuk mengurangi aktivitas kerja serta menenangkan pikiran.
Penatalaksanaan Tuberkulosis ( TBC )
a.       Farmakologi
Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberculosis , yaitu sebagai berikut:
  • Aktivitas bakterisid
Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakteriosid biasanya diukur dengan kecepataan obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan).
  • Aktivitas sterilisasi
Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.
Pengobatan penyakit Tuberculosis dahulu hanya dipakai satu macam obat saja. Kenyataan dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi. Untuk mencegah terjadinya resistensi ini, terapi tuberculosis dilskukan dengan memakai perpaduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid. Dengan memakai perpaduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan karena jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih serta pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah INH
Medikamentosa
Jenis  obat yang dipakai
-  Obat Primer                                   -  Obat Sekunder
1.  Isoniazid (H)                               1.  Ekonamid
2.  Rifampisin (R)                             2.  Protionamid
3.  Pirazinamid (Z)                           3.  Sikloserin
4.  Streptomisin                                4.  Kanamisin
5.  Etambutol (E)                              5.  PAS (Para Amino Saliciclyc Acid)
  1. Tiasetazon
  2. Viomisin
  3. Kapreomisin

Pengobatan TB ada 2 tahap menurut DEPKES.2000 yaitu :
  • Tahap INTENSIF
Penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap rifampisin. Bila saat tahab intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi  negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahab intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.

  • Tahap  lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat jangka waktu lebih panjang dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah terjadinya kelembutan. Tahab lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Kegagalan Pengobatan Tuberkulosis ( TBC )
Sebab-sebab kegagalan pengobataan :
a.       Obat                            :    -      Paduan obat tidak adekuat
-      Dosis obat tidak cukup
-            Minum obat tidak teratur / tdk. Sesuai dengan petunjuk yang diberikan.
-            Jangka waktupengobatan kurang dari semestinya
-            Terjadi resistensi obat.
b.    Drop out                       :    -      Kekurangan biaya pengobatan
-      Merasa  sudah sembuh
-      Malas berobat
c.     Penyakit                        :    -      Lesi Paru yang sakit terlalu luas / sakit berat
-      Ada penyakit lainyang menyertai contoh : Demam, Alkoholisme dll
-      Ada gangguan imunologis
Penanggulangan Khusus Pasien Tuberkulosis ( TBC )
Terhadap penderita yang sudah berobat secara teratur
-  menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara pemberian.
-  Pemeriksaan uji kepekaan / test resistensi kuman terhadap obat
Terhadap penderita yang riwayat pengobatan tidak teratur
-   Teruskan pengobatan lama ± 3 bulan dengan evaluasi bakteriologis tiap-tiap bulan.
-     Nilai ulang test resistensi kuman terhadap  obat
-     Jangka resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang masih sensitif.
Pada penderita kambuh (sudah menjalani pengobatan teratur dan adekuat sesuai rencana tetapi dalam kontrol ulang BTA ( +) secara mikroskopik atau secara biakan )
    1. Berikan pengobatan yang sama dengan pengobatan pertama
    2. Lakukan pemeriksaan BTA mikroskopik 3 kali, biakan dan resistensi
    3. Roentgen paru sebagai evaluasi.
    4. Identifikasi adanya penyakit yang menyertai (demam, alkoholisme / steroid jangka lama)
    5. Sesuatu obat dengan tes kepekaan / resistensi
Evaluasi ulang setiap bulannya : pengobatan, radiologis, bakteriologis.
Pengkajian Tuberkulosis ( TBC )
Data dasar pengkajian pasien (  Doengoes, Marilynn E : 2000 ) adalah sebagai berikut:
a.       Pola aktivitas dan istirahat
Subjektif : Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. sesak (nafas pendek), demam, menggigil.
Objektif : Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak (tahap, lanjut; infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris (40 -410C) hilang timbul.
b.      Pola nutrisi
Subjektif : Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.
Objektif : Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak sub kutan.
c.       Respirasi
Subjektif : Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada.
Objektif : Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent, mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak napas, pengembangan pernapasan tidak simetris (effusi pleura.), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).
d.      Rasa nyaman/nyeri
Subjektif : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Obiektif : Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah, nyeri bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul pleuritis.
e.       Integritas ego
Subjektif : Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Objektif : Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah tersinggung.
f.       Keamanan
Subyektif: adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker.
Obyektif: demam rendah atau sakit panas akut.
g.      Interaksi Sosial
Subyektif: Perasaan isolasi/ penolakan karena penyakit menular, perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/ perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.
Diagnosa Keperawatan Tuberkulosis ( TBC )
a.       Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
b.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret yang kental, edema bronchial.
c.       Gangguan keseimbangan  nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan kemampuan finansial.
d.      Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap.
e.       Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.
f.       Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
g.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan dengan tidak ada yang menerangkan, interpretasi yang salah, informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, terbatasnya pengetahuan/kognitif
h.      Risiko tinggi infeksi penyebaran / aktivitas ulang infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat, fungsi silia menurun/ statis sekret, kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar, malnutrisi, terkontaminasi oleh lingkungan, kurang informasi tentang infeksi kuman.
Perencanaan Keperawatan pada Tuberkulosis ( TBC )
1. Diagnosa Keperawatan : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan kebersihan jalan napas efektif, dengan criteria hasil:
  • Mempertahankan jalan napas pasien.
  • Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
  • Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas.
  • Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi.
  • Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat.
Intervensi :
  • Kaji  ulang fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman dan penggunaan otot aksesori. Rasional : Penurunan bunyi napas indikasi atelektasis, ronki indikasi akumulasi secret/ketidakmampuan membersihkan jalan napas sehingga otot aksesori digunakan dan kerja pernapasan meningkat
  • Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis. Rasional: Pengeluaran sulit bila sekret tebal, sputum berdarah akibat kerusakan paru atau luka bronchial yang memerlukan evaluasi/intervensi lanjut.
  • Berikan pasien posisi semi atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif dan latihan napas dalam. Rasional: Meningkatkan ekspansi paru, ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan peningkatan gerakan sekret agar mudah dikeluarkan.
  • Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu. Rasional: Mencegah obstruksi/aspirasi. Suction dilakukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
  • Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi. Rasional: Membantu mengencerkan secret sehingga mudah dikeluarkan.
  • Lembabkan udara/oksigen inspirasi. Rasional: Mencegah pengeringan membran mukosa.
  • Kolaborasi pemberian obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi. Rasional: Menurunkan kekentalan sekret, lingkaran ukuran lumen trakeabronkial, berguna jika terjadi hipoksemia pada kavitas yang luas.
2. Diagnosa Keperawatan : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret yang kental, edema bronchial.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan pertukaran gas efektif, dengan kriteria hasil:
  • Melaporkan tidak terjadi dispnea.
  • Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal.
  • Bebas dari gejala distress pernapasan.
Intervensi:
  • Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal. Peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan. Rasional: Tuberkulosis paru dapat rnenyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-pani yang berasal dari bronkopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural effusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
  • Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku. Rasional: Akumulasi secret dapat menggangp oksigenasi di organ vital dan jaringan.
  • Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan. Rasional: Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi.
3. Diagnosa Keperawatan : Gangguan keseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan kemampuan finansial.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan  kebutuhan nutrisi adekuat, dengan kriteria hasil:
  • Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi.
  • Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi :
  • Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare. Rasional: Berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat.
  • Kaji ulang  pola diet pasien yang disukai/tidak disukai. Rasional: Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet pasien.
  • Monitor intake dan output secara periodik. Rasional: Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
  • Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB). Rasional: Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.
  • Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan. Rasional: Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan yang dapat merangsang muntah.
  • Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat. Rasional: Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.

Evaluasi
Diagnosa Keperawatan 1 : bersihan jalan napas efektif, dengan kriteria evaluasi:
  • Mempertahankan jalan napas pasien.
  • Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
  • Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas.
  • Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi.
  • Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat.
Diagnosa Keperawatan  2: Pertukaran gas efektif, dengan kriteria evaluasi:
  • Melaporkan tidak terjadi dispnea.
  • Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal.
  • Bebas dari gejala distress pernapasan.
Diagnosa Keperawatan  3: Kebutuhan nutrisi adekuat, dengan kriteria evaluasi:
  • Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi.
  • Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.
Daftar Pustaka
Doengoes,  Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif ,dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi II. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI Media Aescullapius.
Price, Sylvia Anderson.2005.Patofisiologi:  Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit , Edisi 6.Jakarta:EGC
Smeltzer, Suzanne. C dan Bare, Brenda. G. 2001. Buku ajar  Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth Volume 1. Jakarta: EGC
Underwood, J.C.E.1999.Patologi Umum dan Sistematik Volume 2.Jakarta: EGC
Lynda Juall Carpenito, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan , edisi 2 , EGC, Jakarta ,1999.
Tucker dkk, Standart Perawatan Pasien , EGC, Jakarta , 1998.

Konsep Beban Kerja Perawat

Definisi Beban kerja

Beban kerja adalah frekuensi rata-rata masing-masing jenis pekerjaan dalam jangka waktu tertentu, dimana dalam memperkirakan beban kerja dari organisasi dapat dilakukan berdasarkan perhitungan atau pengalaman (Peraturan Pemerintah RI Nomor 97 tahun 2000 dalam Nurcahyaningtyas, 2006). Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan / aktifitas yang dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan (Marquish dan huston, 2000 dalam Nurcahyaningtyas, 2006).
Berdasarkan dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktifitas yang dilakukan perawat dengan jenis pekerjaan dan beratnya pekerjaan yang ditetapkan dalam satuan waktu  tertentu di suatu unit pelayanan keperawatan.
Beban kerja dapat dibedakan menjadi beban kerja kuantitatif dan kualitatif. Beban kerja kuantitatif menunjukkan adanya jumlah pekerjaan yang besar yang harus dilakukan misalnya jam kerja yang tinggi, derajat tanggung jawab yang besar, tekanan kerja sehari-hari dan sebagainya. Beban kerja kualitatif menyangkut kesulitan tugas yang dihadapi (Putrono, 2002)


Faktor – faktor yang mempengaruhi beban kerja

Beban kerja disebabkan oleh kelebihan beban kerja, yang dibedakan menjadi kelebihan beban kerja secara kuantatif (Quantitative Overload) dan beban kerja secara kualitatif  (Qualitative Overload) (Caplan HI & Sadock BJ, 1973 dalam Putrono, 2002). Kelebihan beban kerja secara kuantitatif mencakup:
  1. Harus melaksanakan observasi pasien secara ketat selama jam kerja
  2. Terlalu banyaknya pekerjaan yang harus dikerjakan
  3. Terlalu beragamnya pekerjaan yang harus dikerjakan
  4. Kontak langsung perawat klien secara terus menerus selama jam kerja
  5. Rasio perawat-klien.
Sedangkan beban kerja secara kualitatif mencakup:
  1. Pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki perawat tidak mampu mengimbangi sulitnya pekerjaan di ruangan
  2. Tanggung jawab yang tinggi terhadap asuhan keperawatan pasien kritis di ruangan
  3. Harapan pimpinan Rumah Sakit terhadap pelayanan yang berkualitas
  4. Tuntutan keluarga pasien terhadap keselamatan pasien
  5. Setiap saat dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat
  6. Tugas memberikan obat secara intensif
  7. Menghadapi pasien dengan karakteristik tidak berdaya, koma dan kondisi terminal
  8. Tindakan penyelamatan pasien.

Standar beban kerja

Menurut Gillies, 1998, dalam Nurcahyaningtyas, 2006, standar beban kerja perawat sebagai berikut.
Dinas pagi
Jam dinas = 420 menit. Jumlah jam efektif  = 357 menit. Beban kerja : K1=357. K2=714. K3=1071. K4=1428.
Dinas sore
Jam dinas = 420 menit. Jumlah jam efektif = 357 menit. Beban kerja : K1=357. K2=714. K3=1071. K4=1428.
Dinas malam
Jam dinas = 600 menit. Jumlah jam efektif = 510 menit. Beban kerja : K1=510. K2= 1020. K3=1530. K4=2040.

Keterangan :
  1. K1: kategori klien dengan perawatan mandiri dan diberi bobot 1
  2. K2: kategori klien dengan perawatan minimal dan diberi bobot 2
  3. K3: kategori klien dengan perawatan moderat dan diberi bobot 3
  4. K4: kategori klien dengan perawatan ekstensif dan diberi bobot 4
  5. Untuk standar normal beban kerja dinas pagi didapatkan dengan penghitungan sebagai berikut : (K2 + K3)/2 = (714 +1071)/2 = 892,5 unit
  6. Untuk standar normal beban kerja dinas sore adalah 892,5 unit sama dengan dinas pagi karena jam dinasnya sama yaitu tujuh jam (420 menit)
  7. Untuk standar normal beban kerja dinas malam dengan jam dinas 10 jam (600 menit) didapatkan hitungan sebagai berikut : (K2 + K3)/2 = (1020 + 1530)/2 =1275 unit.



Klasifikasi tingkat ketergantungan pasien

Kategori I: Mandiri ( Self Care )

1)      Aktifitas hidup sehari-hari: pemenuhan kebutuhan makan dengan sedikit bantuan, mengurus hampir seluruh kebutuhan sendiri, kebutuhan eliminasi ke kamar mandi sendiri, kadang-kadang perlu bantuan tanpa terjadi inkontinensia, pemenuhan kebutuhan rasa nyaman sendiri.
2)      Kesehatan secara umum baik untuk prosedur diagnostik sederhana atau pembedahan yang sederhana/minor.
3)      Pendidikan kesehatan (health education) dan dukungan emosional secara rutin untuk tiap prosedur, follow up penyuluhan atau discharge planning, tanpa reaksi emosional yang merugikan. Pasien mampu berorientasi terhadap waktu, kondisi fisik dan orang.

 Kategori II: Minimal Care

1)      Aktifitas hidup sehari-hari: pemenuhan kebutuhan makan dibantu dalam menyiapkan makanan, pengaturan posisi, atau anjuran untuk makan, dapat makan sendiri, dapat mengurus kebutuhan yang utama tanpa dibantu atau dengan bantuan minimal, kebutuhan eliminasi dibantu ke kamar mandi atau menggunakan urinal tanpa inkontinensia atau kondisi stress.
2)      Kondisi umum dengan lebih dari satu keluhan sakit, memerlukan monitoring tanda vital, tes urine diabet, menggunakan drainage yang tidak terlalu banyak, atau menggunakan infus.
3)      Penyuluhan/pendidikan kesehatan dan dukungan emosional perlu 5 sampai 10 menit setiap kali masing-masing penyuluhan.
4)      Pengobatan atau medikasi memerlukan waktu 20 sampai 30 menit sekali tindakan.
5)      Perlu evaluasi secara efektif terhadap medikasi (obat-obatan) atau tindakan yang sering dilakukan. Mungkin diperlukan observasi terhadap status mental.

 Kategori III : Moderate Care

1)      Aktifitas hidup sehari-hari: kebutuhan makan dibantu tetapi dapat mengunyah dan menelan sendiri, mengurus kebutuhan dengan bantuan, kebutuhan eliminasi menggunakan pispot/urinal. Kadang-kadang boleh turun, dengan frekuensi inkontinen 2 x sehari setiap shift
2)      Kondisi kesehatan secara umum menunjukkan gejala akut dan dibantu. Monitoring dan evaluasi kondisi fisik atau status emosional setiap 2 sampai 4 jam menggunakan continues drainage atau infus dimana perlu dimonitoring tiap jam.
3)      Pendidikan kesehatan/penyuluhan dan dukungan emosional memerlukan waktu 10 sampai 30 menit setiap kali pendidikan kesehatan. Takut, sangat khawatir atau tergantung pada penyuluhan itu. Pasien mungkin bingung, agitasi atau gelisah, tetapi dapat dikontrol dengan baik oleh obat-obatan, perlu diorientasikan sering atau dipasang pangaman.
4)      Tindakan-tindakan dan obat-obatan memerlukan waktu 30 sampai 60 menit sekali tindakan. Perlu observasi sering untuk efek sampingnya seperti reaksi alergi. Observasi tiap 1 jam untuk status mental pasien.

 Kategori IV: Intensive Care

1)      Aktifitas hidup sehari-hari: tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri, sulit mengunyah dan menelan, kemungkinan menggunakan NGT, dibantu mengurus secara penuh kebutuhan mandi, merawat rambut dan mulut, eliminasi inkontinen lebih dari 2 kali 1 shift, rasa nyaman perlu dibantu, mungkin memerlukan 2 orang.
2)      Kondisi kesehatan umum sangat serius penyakitnya tampak gejala-gejala akut seperti perdarahan atau kehilangan cairan. Terdapat episode acut respiratory. Perlu sering dievaluasi dan dimonitoring.
3)      Pendidikan kesehatan dan dukungan emosional lebih dari 30 menit setiap kali pendidikan kesehatan. Pasien sangat menolak terhadap penjelasan perawat dan sangat menunjukkan reaksi emosional. Pasien bingung, gelisah, agitasi dan tidak dapat dikontrol dengan obat-obatan, sering diorientasikan atau perlu pengaman.
4)      Tindakan dan pemberian obat-obatan memerlukan lebih dari 60 menit setiap kali tindakan. Tindakan kolaborasi dikerjakan lebih dari 1 kali setiap shift atau memerlukan bantuan 2 orang. Perlu observasi lebih sering, yaitu lebih dari 1 kali tiap jam untuk status mental. (Joko Suwito, 2001 dalam Nurcahyaningtyas, 2006).


sumber : NursigBegin.com

Asuhan Keperawatan Gerontik Pada Lansia Dengan Demensia

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi Demensia

Istilah demensia pertama kali digunakan oleh Phillipe Pinel (1745- 1826) dalam bukunya “TREATISE ON INSANITY” dengan kata ‘Demence”.
Demensia adalah suatu sindroma klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan ingatan/memori sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari (Brocklehurst and Allen, 1987 dalam Boedhi-Darmojo, 2009).
Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang secara perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, pikiran, penilaian dan kemampuan untuk memusatkan perhatian, dan bisa terjadi kemunduran kepribadian (Medicastore.com ).
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavioral symptom) yang mengganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu (non-disruptive) (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).
Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku (Kusumawati, 2007).

2. Epidemiologi/Insiden Kasus

Usia di atas 65 tahun mempunyai risiko tinggi untuk mengalami demensia dan hal ini tidak bergantung pada bangsa, suku, kebudayaan dan status ekonomi. Hasil penelitian di seluruh dunia menunjukkan bahwa demensia terjadi sekitar 8 % pada warga di atas usia 65 tahun dan meningkat sangat pesat menjadi 25 % pada usia di atas 80 tahun dan hampir 40 % pada usia di atas 90 tahun.

3. Penyebab Demensia pada Usia Lanjut (Boedhi-Darmojo, 2009)

Penyebab demensia yang reversibel sangat penting untuk diketahui, karena dengan pengobatan yang baik penderita dapat kembali menjalankan hidup sehari-hari yang normal. Keadaan yang secara potensial reversibel atau bisa dihentikan yaitu :
- Intoksikasi (Obat, termasuk alkohol dan lain-lain)
- Infeksi susunan saraf pusat
- Gangguan metabolik :
a) Endokrinopati (penyakit Addison, sindroma Cushing, Hiperinsulinisme, Hipotiroid, Hipopituitari, Hipoparatiroid, Hiperparatiroid)
b) Gagal hepar, gagal ginjal, dialisis, gagal nafas, hipoksia, uremia kronis, gangguan keseimbangan elektrolit kronis, hipo dan hiperkalsemia, hipo dan hipernatremia, hiperkalemia.
c) Remote efek dari kanker atau limfoma.
- Gangguan nutrisi :
a) Kekurangan vitamin B12 (anemia pernisiosa)
b) Kekurangan Niasin (pellagra)
c) Kekurangan Thiamine (sindroma Wernicke-Korsakoff)
d) Intoksikasi vitamin A, vitamin D, Penyakit Paget
- Gangguan vaskuler
a) Demensia multi infark
b) Sumbatan arteri carotis
c) Stroke
d) Hipertensi
e) Arthritis Kranial
- Lesi desak ruang
- Hirdosefalus bertekanan normal
- Depresi (pseudo-demensia depresif)

Penyakit degeneratif progresif :
a. Tanpa gejala neurologik penting lain :
• Penyakit Alzheimer
• Penyakit Pick
b. Dengan gangguan neurologik lain yang prominen :
• Penyakit Parkinson
• Penyakit Huntington
• Kelumpuhan supranuklear progresif
• Penyakit degeneratif lain yang jarang didapat

4. Patofisiologi Terkait dengan Proses Penuaan

Proses menua tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya demensia. Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan biokimiawi di susunan saraf pusat yaitu berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10 % pada penuaan antara umur 30 sampai 70 tahun. Berbagai faktor etiologi yang telah disebutkan di atas merupakan kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi sel-sel neuron korteks serebri. Penyakit degeneratif pada otak, gangguan vaskular dan penyakit lainnya, serta gangguan nutrisi, metabolik dan toksisitas secara langsung maupun tak langsung dapat menyebabkan sel neuron mengalami kerusakan melalui mekanisme iskemia, infark, inflamasi, deposisi protein abnormal sehingga jumlah neuron menurun dan mengganggu fungsi dari area kortikal ataupun subkortikal. Di samping itu, kadar neurotransmiter di otak yang diperlukan untuk proses konduksi saraf juga akan berkurang. Hal ini akan menimbulkan gangguan fungsi kognitif (daya ingat, daya pikir dan belajar), gangguan sensorium (perhatian, kesadaran), persepsi, isi pikir, emosi dan mood. Fungsi yang mengalami gangguan tergantung lokasi area yang terkena (kortikal atau subkortikal) atau penyebabnya, karena manifestasinya dapat berbeda. Keadaan patologis dari hal tersebut akan memicu keadaan konfusio akut demensia (Boedhi-Darmojo, 2009).

Klasifikasi Demensia

Demensia dapat dibagi dalam 3 tipe yaitu :
1) Demensia Kortikal dan Sub Kortikal
a. Demensia Kortikal
Merupakan demensia yang muncul dari kelainan yang terjadi pada korteks serebri substansia grisea yang berperan penting terhadap proses kognitif seperti daya ingat dan bahasa. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan demensia kortikal adalah Penyakit Alzheimer, Penyakit Vaskular, Penyakit Lewy Bodies, sindroma Korsakoff, ensefalopati Wernicke, Penyakit Pick, Penyakit Creutzfelt-Jakob.
b. Demensia Subkortikal
Merupakan demensia yang termasuk non-Alzheimer, muncul dari kelainan yang terjadi pada korteks serebri substansia alba. Biasanya tidak didapatkan gangguan daya ingat dan bahasa. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan demensia kortikal adalah penyakit Huntington, hipotiroid, Parkinson, kekurangan vitamin B1, B12, Folate, sifilis, hematoma subdural, hiperkalsemia, hipoglikemia, penyakit Coeliac, AIDS, gagal hepar, ginjal, nafas, dll.

2) Demensia Reversibel dan Non reversibel
a. Demensia Reversibel
Merupakan demensia dengan faktor penyebab yang dapat diobati. Yang termasuk faktor penyebab yang dapat bersifat reversibel adalah keadaan/penyakit yang muncul dari proses inflamasi (ensefalopati SLE, sifilis), atau dari proses keracunan (intoksikasi alkohol, bahan kimia lainnya), gangguan metabolik dan nutrisi (hipo atau hipertiroid, defisiensi vitamin B1, B12, dll).
b. Demensia Non Reversibel
Merupakan demensia dengan faktor penyebab yang tidak dapat diobati dan bersifat kronik progresif. Beberapa penyakit dasar yang dapat menimbulkan demensia ini adalah penyakit Alzheimer, Parkinson, Huntington, Pick, Creutzfelt-Jakob, serta vaskular.

3) Demensia Pre Senilis dan Senilis
a. Demensia Pre Senilis merupakan demensia yang dapat terjadi pada golongan umur lebih muda (onset dini) yaitu umur 40-50 tahun dan dapat disebabkan oleh berbagai kondisi medis yang dapat mempengaruhi fungsi jaringan otak (penyakit degeneratif pada sistem saraf pusat, penyebab intra kranial, penyebab vaskular, gangguan metabolik dan endokrin, gangguan nutrisi, penyebab trauma, infeksi dan kondisi lain yang berhubungan, penyebab toksik (keracunan), anoksia).
b. Demensia Senilis merupakan demensia yang muncul setelah umur 65 tahun. Biasanya terjadi akibat perubahan dan degenerasi jaringan otak yang diikuti dengan adanya gambaran deteriorasi mental.

Demensia berdasakan Etiologi yang mendasari :

a. Demensia pada Penyakit Alzheimer
Merupakan penyebab demensia yang paling sering ditemukan pada sekitar 50 % kasus demensia. Penyakit Alzheimer merupakan penyakit degeneratif primer pada otak tanpa penyebab yang pasti. Dapat terjadi pada umur kurang dari 65 tahun (onset dini) dengan perkembangan gejala yang cepat dan progresif, atau pada umur di atas 65 tahun (onset lambat) dengan perjalanan penyakit yang lebih lambat. Pada penyakit ini terjadi deposit protein abnormal yang menyebabkan kerusakan sel otak dan penurunan jumlah neuron hippokampus yang mengatur fungsi daya ingat dan mental. Kadar neurotransmiter juga ditemukan lebih rendah dari normal.
Gejala yang ditemukan pada penyakit Alzheimer adalah 4A yaitu:
- Amnesia : Ketidakmampuan untuk belajar dan mengingat kembali informasi baru yang didapat sebelumnya.
- Agnosia : Gagal mengenali atau mengidentifikasi objek walaupun fungsi sensorisnya masih baik.
- Aphasia : Gangguan berbahasa yaitu gangguan dalam mengerti dan mengutarakan kata – kata yang akan diucapkan.
- Apraxia : Ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi motorik masih baik (contohnya mampu memegang gagang pintu tapi tak tahu apa yang harus dilakukannya).
b. Demensia Vaskular
Merupakan penyebab kedua demensia yang terjadi pada hampir 40 % kasus. Demensia ini berhubungan dengan penyakit serebro dan kardiovaskuler seperti hipertensi, kolesterol tinggi, penyakit jantung, diabetes, dll. Biasanya terdapat riwayat TIA sebelumnya dengan perubahan kesadaran. Demensia ini terjadi pada umur 50-60 tahun tetapi lebih sering pada umur 60-70 tahun. Gambaran klinis dapat berupa gangguan fungsi kognitif, gangguan daya ingat, defisit intelektual, adanya tanda gangguan neurologis fokal, aphasia, disarthria, disphagia, sakit kepala, pusing, kelemahan, perubahan kepribadian, tetapi daya tilik diri dan daya nilai masih baik.
c. Demensia pada penyakit lain
Adalah demensia yang terjadi akibat penyakit lain selain Alzheimer dan vaskuler yaitu :
- Demensia pada penyakit Pick
- Demensia pada penyakit Huntington
- Demensia pada penyakit Creutzfelt-Jakob
- Demensia pada penyakit Parkinson
- Demensia pada penyakit HIV-AIDS
- Demensia pada alkoholisme.

Manifestasi Klinis Demensia


Pada awal perjalanan penyakit, pasien mengalami pegal-pegal, cenderung mengalami kegagalan dalam melakukan tugas tertentu yang kompleks dan memerlukan pemecahan masalah. Beberapa hal yang sering ditemui pada demensia adalah :
a. Kemunduran intelektual yang disertai dengan gangguan :
1) Memori (daya ingat)
2) Orientasi : Gangguan orientasi orang, tempat dan waktu tetapi kesadarannya tidak mengalami gangguan.
3) Bahasa : Aphasia, stereotipik, sirkumstansial, gangguan penamaan objek.
4) Daya pikir dan daya nilai : Daya pikir lebih lambat, aliran ide dan konsentrasi berkurang, sudut pandang yang jelek dan kurang, pikiran paranoid, delusi, dll.
5) Kapasitas belajar komprehensif : Gangguan otak dalam memproses informasi yang masuk.
6) Kemampuan dalam perhitungan.

b. Perubahan emosional
Emosi sering gampang terstimulasi serta tidak dapat mengontrol tawa dan tangis.
c. Kemunduran kepribadian
1) Sering egois
2) Kurang bisa mengerti perasaan orang lain, kurang perhatian, introvert.
3) Kemunduran kebiasaan pribadi, makan, toilet, kebersihan, dll.
d. Perubahan-perubahan pada sistem tubuh :
1) Kardiovaskuler
Cardiac output menurun, kemampuan respon terhadap stress berkurang, tekanan darah meningkat, denyut jantung setelah pemulihan melambat, cepat pegal bila aktivitas meningkat.
2) Respirasi
Volume residu paru meningkat, kapasitas vital paru menurun, kapasitas difusi dan pertukaran gas menurun, efektivitas batuk menurun, pada aktivitas berat cepat lelah dan sesak, oksigenasi berkurang sehingga luka susah sembuh, susah mengeluarkan sekret batuk.
3) Integumen (kulit)
Perlindungan terhadap trauma dan suhu yang ekstrem menurun, perlindungan oleh kelenjar minyak alami dan berkeringat menurun, kulit tipis kering, dan keriput, sering memar, kebiruan dan cepat terbakar sinar matahari, intoleransi terhadap panas, struktur tulang kelihatan pada kulit yang tipis.
4) Reproduksi
Pada wanita terjadi penyempitan, penurunan elastisitas dan sekresi pada dinding vagina, sehingga menimbulkan hubungan seksual yang sakit, perdarahan, gatal, iritasi dan lambat orgasme. Pada laki –laki terjadi penurunan ukuran penis dan testes dan respon seksual yang melambat.
5) Genito-urinaria
Kapasitas buli menurun, menurunnya sensasi untuk bak sehingga sering retensi dan kesulitan bak. Pada laki-laki terjadi BPH, dan pada wanita terjadi relaksasi otot perineum dan inkontinensia urine.
6) Gastrointestinal
Salivasi berkurang, susah menelan makanan, mengeluh mulut kering, pengosongan esofagus dan lambung yang melambat sehingga sering terjadi gejala penuh, sakit ulu hati, mobilisasi usus berkurang sehingga sering konstipasi, bersendawa, perut tidak nyaman.
7) Muskuloskeletal
Hilangnya densitas tulang, kekuatan dan ukuran otot, degenerasi tulang rawan sendi, sehingga terjadi penurunan tinggi badan, kyphosis, fraktur, sakit pada punggung, merasa hilang tenaga, flexibilitas dan ketahanan sendi menurun dan sering sakit sendi.
8) Saraf
Berkurangnya kecepatan konduksi saraf sehingga terjadi konfusi disertai dengan keluhan fisik dan kehilangan respon lingkungan. Sirkulasi serebral menurun sehingga terjadi penurunan reaksi dan respon, belajar perlu waktu yang lama, sering bingung, sering lupa dan jatuh.
e. Sistem indera :
1) Penglihatan : Kemampuan untuk fokus pada objek yang dekat berkurang, tidak toleransi terhadap sinar, kesulitan mangatur intensitas cahaya masuk mata, dan penurunan kemampuan membedakan warna.
2) Pendengaran : Menurunnya kemampuan mendengarkan suara frekuensi tinggi.
3) Rasa dan bau : Penurunan kemampuan mengecap dan membau sehingga dapat menggunakan gula dan garam berlebih pada makanannya.
f. Halusinasi dan delusi
g. Tanda dan Gejala lainnya :
1) Psikiatrik
Gangguan cemas, depresi, perubahan kepribadian sehingga sering menangis atau tertawa patologis, emosi ekstrim tanpa provokasi.
2) Neurologis
Apraxia dan agnosia, kejang, sakit kepala, pusing, kelemahan, sering pingsan, gangguan tidur, disartria, disfagia.
3) Reaksi katastropi
Agitasi yang muncul sekunder akibat kesadaran subjektif terhadap defisit intelektual yang dialami pada keadaan yang penuh stres.
4) Sundown syndrome
Mengantuk, konfusi, ataksia, jatuh. Sindrome ini bisa muncul saat stimulus eksternal berkurang atau karena pengaruh obat benzodiazepine.

Komplikasi Demensia

a. Peningkatan risiko infeksi di seluruh bagian tubuh :
? Ulkus Dekubitus
? Infeksi saluran kencing
? Pneumonia
b. Thromboemboli, infark miokardium.
c. Kejang
d. Kontraktur sendi
e. Kehilangan kemampuan untuk merawat diri
f. Malnutrisi dan dehidrasi akibat nafsu makan kurang dan kesulitan menggunakan peralatan
g. Kehilangan kemampuan berinteraksi
h. Harapan hidup berkurang

3. Pemeriksaan Portabel Demensia
Untuk keperluan penapisan, pemeriksaan psikometrik sederhana misalnya dengan menggunakan pemeriksaan mini status mental (Mini mental State Examination/MMSE) akan membantu menentukan gangguan kognitif yang harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan lain.

10. Pemeriksaan diagnostic (Medicastore, http:/www.medicastore.com)
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan penilaian menyeluruh, dengan memperhatikan usia penderita, riwayat keluarga, awal dan perkembangan gejala serta adanya penyakit lain (misalnya tekanan darah tinggi atau kencing manis). Dilakukan pemeriksaan kimia darah standar. Pemeriksaan CT scan dan MRI dimaksudkan untuk menentukan adanya tumor, hidrosefalus atau stroke.
Jika pada seorang lanjut usia terjadi kemunduran ingatan yang terjadi secara bertahap, maka diduga penyebabnya adalah penyakit Alzheimer. Diagnosis penyakit Alzheimer terbukti hanya jika dilakukan otopsi terhadap otak, yang menunjukkan banyaknya sel saraf yang hilang. Sel yang tersisa tampak semrawut dan di seluruh jaringan otak tersebar plak yang terdiri dari amiloid (sejenis protein abnormal). Metode diagnostik yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit ini adalah pemeriksaan pungsi lumbal dan PET (positron emission tomography), yang merupakan pemerisaan skening otak khusus.




11. Penatalaksanaan (Boedhi-Darmojo, 2009)
Walaupun penyembuhan total pada berbagai bentuk demensia biasanya tidak mungkin, dengan penatalaksaan yang optimal dapat dicapai perbaikan hidup sehari-hari dari penderita. Prinsip utama penatalaksanaan penderita demensia adalah sebagai berikut
a. Optimalkan fungsi dari penderita
- Obati penyakit yang mendasarinya (hipertensi, penyakit parkinson)
- Hindari pemakaian obat yang memberikan efek samping pada SSP
- Akses keadaan lingkungan, kalau perlu buat perubahan
- Upayakan aktivitas mental dan fisik
- Hindari situasi yang menekan kemampuan mental, gunakan alat bantu memori bila memungkinkan
- Persiapkan penderita bila akan berpindah tempat
- Tekankan perbaikan gizi
b. Kenali dan obati komplikasi
- Mengembara dan berbagai perilaku merusak
- Gangguan perilaku lain
- Depresi
- Agitasi atau agresivitas
- Inkontinensia
c. Upayakan perumatan berkesinambungan
- Re-akses keadaan kognitif dan fisik
- Pengobatan gangguan medik
d. Upayakan informasi medis bagi penderita dan keluarganya
- Berbagai hal tentang penyakitnya
- Kemungkinan gangguan/kelainan yang bisa terjadi
- Prognosis
e. Upayakan informasi pelayanan sosial yang ada pada penderita dan keluarganya
- Berbagai pelayanan kesehatan masyarakat
- Nasihat hukum dan/keuangan
f. Upayakan nasihat keluarga untuk :
- Pengenalan dan cara atasi konflik keluarga
- Penanganan rasa marah atau rasa bersalah
- Pengambilan keputusan
- Kepentingan-kepentingan hukum/masalah etik
g. Peran keluarga
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia penderita demensia yang tinggal di rumah. Hidup bersama dengan penderita demensia bukan hal yang mudah, tapi perlu kesiapan khusus baik secara mental maupun lingkungan sekitar. Pada tahap awal demensia penderita dapat secara aktif dilibatkan dalam proses perawatan dirinya. Membuat catatan kegiatan sehari-hari dan minum obat secara teratur. Ini sangat membantu dalam menekan laju kemunduran kognitif yang akan dialami penderita demensia.
Keluarga tidak berarti harus membantu semua kebutuhan harian lansia, sehingga lansia cenderung diam dan bergantung pada lingkungan. Seluruh anggota keluargapun diharapkan aktif dalam membantu lansia agar dapat seoptimal mungkin melakukan aktifitas sehari-harinya secara mandiri dengan aman. Melakukan aktivitas sehari-hari secara rutin sebagaimana pada umumnya lansia tanpa demensia dapat mengurangi depresi yang dialami lansia penderita demensia.
Merawat penderita dengan demensia memang penuh dengan dilema, walaupun setiap hari selama hampir 24 jam mengurus mereka, mungkin mereka tidak akan pernah mengenal dan mengingat siapa kita, bahkan tidak ada ucapan terima kasih setelah apa yang kita lakukan untuk mereka.
Kesabaran adalah sebuah tuntutan dalam merawat anggota keluarga yang menderita demensia. Tanamkanlah dalam hati bahwa penderita demensia tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Merekapun berusaha dengan keras untuk melawan gejala yang muncul akibat demensia.
Saling menguatkan sesama anggota keluarga dan selalu meluangkan waktu untuk diri sendiri beristirahat dan bersosialisasi dengan teman-teman lain dapat menghindarkan stress yang dapat dialami oleh anggota keluarga yang merawat lansia dengan demensia.
Pada suatu waktu lansia dengan demensia dapat terbangun dari tidur malamnya dan panik karena tidak mengetahui berada di mana, berteriak-teriak dan sulit untuk ditenangkan. Untuk mangatasi hal ini keluarga perlu membuat lansia rileks dan aman. Yakinkan bahwa mereka berada di tempat yang aman dan bersama dengan orang-orang yang menyayanginya. Duduklah bersama dalam jarak yang dekat, genggam tangan lansia, tunjukkan sikap dewasa dan menenangkan. Berikan minuman hangat untuk menenangkan dan bantu lansia untuk tidur kembali.
Lansia dengan demensia melakukan sesuatu yang kadang mereka sendiri tidak memahaminya. Tindakan tersebut dapat saja membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. Mereka dapat saja menyalakan kompor dan meninggalkannya begitu saja. Mereka juga merasa mampu mengemudikan kendaraan dan tersesat atau mungkin mengalami kecelakaan. Memakai pakaian yang tidak sesuai kondisi atau menggunakan pakaian berlapis-lapis pada suhu yang panas.
Seperti layaknya anak kecil terkadang lansia dengan demensia bertanya sesuatu yang sama berulang kali walaupun sudah kita jawab, tapi terus saja pertanyaan yang sama disampaikan. Menciptakan lingkungan yang aman seperti tidak menaruh benda tajam sembarang tempat, menaruh kunci kendaraan ditempat yang tidak diketahui oleh lansia, memberikan pengaman tambahan pada pintu dan jendela untuk menghindari lansia kabur adalah hal yang dapat dilakukan keluarga yang merawat lansia dengan demensia di rumahnya. (Kusumawati, 2007, http:/www.berita iptek online.com).

12. Prognosis (Medicastore, http:/www.medicastore.com )
Perkembangan demensia pada setiap orang berbeda. Pada sebagian besar demensia stadium lanjut, terjadi penurunan fungsi otak yang hampir menyeluruh. Penderita menjadi lebih menarik dirinya dan tidak mampu mengendalikan perilakunya. Suasana hatinya sering berubah-ubah dan senang berjalan-jalan (berkelana). Pada akhirnya penderita tidak mampu mengikuti suatu percakapan dan bisa kehilangan kemampuan berbicara.

B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data subyektif :
1) Pasien mengatakan mudah lupa akan peristiwa yang baru saja terjadi.
2) Pasien mengatakan tidak mampu mengenali orang, tempat dan waktu.

b. Data obyektif :
1) Pasien kehilangan kemampuannya untuk mengenali wajah, tempat dan objek yang sudah dikenalnya dan kehilangan suasana kekeluargaannya.
2) Pasien sering mengulang-ngulang cerita yang sama karena lupa telah menceritakannya.
3) Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara; penderita menggunakan kata-kata yang lebih sederhana, menggunakan kata-kata yang tidak tepat atau tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat.

2. Diagnosa keperawatan
a. Perubahan proses pikir berhubungan dengan degenerasi neuronal dan demensia progresif.
b. Risiko terhadap cedera berhubungan dengan defisit sensori dan motorik
c. Syndrome defisit perawatan diri berhubungan dengan konfusi, kehilangan kognitif dan perilaku disfungsi.
d. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perawatan anggota keluarga yang mengalami disfungsi.
e. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan kerusakan kognitif & perilaku disfungsi.
f. Kerusakan komunikasi berhubungan dengan gangguan pendengaran
g. Konfusi kronis berhubungan dengan degenerasi progresif korteks serebri sekunder akibat demensia


DAFTAR PUSTAKA

Boedhi-Darmojo, (2009), Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi 4. Jakarta : FKUI.

Medicastore, 2008, Demensia, (Online), available : http:/www.medicastore.com, (2009, Agust,24).

Kusumawati, 2007, Mengenal Demensia Pada Lanjut Usia, (Online), available : http:/www.berita iptek online.com, (2009, Agust, 24).

Maslim Rusdi, 2001, Diagnosis Gangguan Jiwa, Jakarta

Pujiastuti Sri Suruni, 2003, Fisioterapi Pada Lansia, EGC, Jakarta

Setiati Siti dkk, Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi IV, FKUI, Jakarta

Tips Sehat Bagi Penderita Kencing Manis

Penyakit Kencing Manis (Diabetes)


Penyakit Kencing Manis merupakan kelainan dalam pengolahan gula oleh tubuh yang disebabkan oleh adanya kekurangan hormon insulin.
Penyakit ini harus diobati dan diawasi dengan baik agar Anda dapat melakukan pekerjaan sebagaimana biasa, rahasianya terletak pada :
  • Pengetian tentang penyakit.
  • Kepatuhan akan anjuran / petunjuk dokter.
  • Pengobatan yang tepat dan benar.
  • Janganlah mencoba sendiri untuk menanggulangi penyakit ini.

Hal yang harus dilakukan oleh penderita Kencing Manis (Diabetes)
  • Melakukan aktivitas yang dipandang sehat.
  • Olah raga yang cukup ( bila perlu konsultasi dengan dokter terlebih dahulu ).
  • Istirahat yang cukup.
  • Jangan merokok.
  • Makan dan minum sesuai anjuran dokter.
  • Bila terkena suatu penyakit lainnya, sebaiknya berobat ke dokter.
  • Seorang penderita diabetes wanita harus minta petunjuk dokter tentang perawatan dirinya apabila dia hamil.
Mengapa Diabetes Harus Diobati
Penyakit ini perlu pengobatan karena dapat menimbulkan komplikasi yang serius, seperti:
  • Kerusakan pada mata.
  • Timbulnya penyakit ginjal.
  • Gangguan darah ke jantung.
  • Lumpuh / gangguan tubuh sebelah bawah.
  • Hilangnya kesadaran.
Pengobatan yang baik dapat mengurangi bahkan menghentikan terjadinya sebagian besar dari komplikasi-komplikasi tersebut.

Dasar Pengobatan Kencing Manis (Diabetes)
  • Kepatuhan terhadap diet (pengaturan makanan)
  • Olah raga.
  • Obat-obatan anti diabetik.
  • Pemantauan mandiri kadar gula darah atau urine.

Pengaturan Makanan Untuk Penderita Diabetes
Tujuannya:
  • Menurunkan kadar gula.
  • Mengusahakan agar berat badan mencapai batas normal.
Hal-hal yang perlu diperhatikan tentang makanan adalah:
  1. Makanlah secara teratur, sesuai dengan porsi dan waktu yang telah ditentukan oleh dokter atau ahli gizi.
  2. Batasilah makanan sumber tenaga, seperti nasi, lontong, kentang, sagu, mie, bihun, makaroni dan makanan lain yang terbuat dari tepung-tepungan.
  3. Hindari gula murni dan makanan yang diolah dengan gula mursi, seperti gula pasir, gula jawa, gula-gula, coklat, dodol, selai, madu, sirup, limun, susu kental manis, buah dalam kaleng, dendeng manis dan lain sebagainya.
  4. Makanlah banyak sayuran dan buah-buahan.
  5. Makanan pada umumnya dapat dimasak bersama makanan keluarga lain asal mengenal porsinya masing-masing.
Daftar Makanan Yang Dikomsumsi:
Golongan I: bahan makanan sumber hidrat arang
¾ gelas nasi = 100 gr, dapat ditukar dengan:
  • 2 biji kentang sedang (200 gr).
  • 1 potong singkong sedang ( 100 gr )
  • 4 iris roti putih ( 80 gr ).
  • 8 sendok makan tepung terigu ( 50 gr).
  • 1 bungkus mie kering.
Golongan II: bahan makanan sumber protein hewani
1 potong sedang daging sapi (50gr) dapat ditukan dengan:
  • 1 potong daging ayam (50gr).
  • 1 butir telur ayam kampung (60gr).
  • ¼ gelas udang basah (50gr).
Golongan III: bahan makanan sumber protein nabati.
2 potong tempe sedang (50gr) dapat ditukar dengan:
  • 2 1/5 sendok makan kacang hijau  (25gr).
  • 2 sendok makan kacang tanah terkupas (20gr).
Golongan IV: sayuran
Sayuran ini dibagi dalam dua kelompok:
  • Kelompok A (dapat dimakan secara bebas) terdiri dari kangkung, mentimun, tomat, kool , kembang kol, lobak, pepaya muda, sawi selada, tauge, terong.
  • Kelompok B (dimakan rata-rata 2 gelas/masing-masing 100gr per hari) terdiri dari bayam, buncis, kacang panjang, wortel, jagung muda, labu siam, daun singkong.
Golongan V: buah-buahan.
1 potong pepaya (100gr) dapat ditukar dengan:
½ buah apel (75 gr).
10 biji anggur (75gr).
2 buah jeruk manis (100gr).
½ buah mangga (50gr).
1 buah pisang ambon.

Golongan VI: susu
1gelas susu segar (200 cc) dapat ditukar dengan 3 sendok makan susu bubuk (25 gr).
Olah Raga
  • Latihan olah raga baik bagi penderita diabetes: olah raga aerobik yaitu: jalan kaki, joging (lari pelan-pelan), lari, bersepeda di tempat, renang, tenis, golf (tanpa mobil), dll.
  • Latihan olah raga ini harus dijalankan secara bertahap teratur (seminggu 4-5 kali).
  • Sebelum berlatih olah raga periksa dulu kemampuan anda / konsul dengan dokter.
  • Perlu diperhatikan bagi yang berumur 40 tahun ke atas jika mulai dengan olah raga sebaiknya dua minggu pertama, latihan jalan dulu. Setelah dua minggu baru boleh latihan jogging atau lari.

Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pengobatan:
  • Pakailah obat seperti yang disarankan dokter, jangan mencoba memutuskan sendiri sesuatu mengenai pengobatan.
  • Bila penderita lupa makan, makan hanya sedikit atau bekerja terlalu berat maka ia akan merasa lemas dan berkeringat dingin, kadang-kadang pingsan, gugup, atau merasa lapar. Tindakannya: segera minum air gula dan berbaring sampai keadaannya membaik, kemudian kontrol ke dokter.
  • Sebaiknya penderita selalu membawa satu atau dua butir gula-gula sebagai persiapan bagi keadaan seperti ini.
  • Bila penderita lupa minum obat, mengalami infeksi berat atau makan terlalu banyak maka kadar gula bisa naik secara tidak terkontrol. Gejalanya: haus, hilang nafsu makan, mual, muntah, pernafasan menjadi dalam. Ini berarti keadaan gawat. Segera hubungi dokter.
  • Bila anda ragu atau merasa ada kelainan dalam tubuh segera hubungi dokter.

Anatomi Fisiologi Ginjal


Anatomi Ginjal

1.  Makroskopis
Ginjal
terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium (retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjaradrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa  berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram.
Ginjal
Ginjal
Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke dalam.  Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke bawah dibandingkan  ginjal kiri untuk memberi tempat  lobus hepatis dexter yang besar.  Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam guncangan.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores.
Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul (Price,1995 : 773).
2. Mikroskopis
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus pengumpul. (Price, 1995)
Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter, kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra.
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.
3.  Vaskularisasi ginjal
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus (Price, 1995).
Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume yang sama dengan 20-25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk keginjal berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah arteri dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus tetap konstan ( Price, 1995).
4. Persarafan Pada Ginjal
Menurut Price (1995) “Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal”.

Fisiologi Ginjal

Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah “menyaring/membersihkan” darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
Fungsi Ginjal
Fungsi ginjal adalah
a)      memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun,
b)      mempertahankan  keseimbangan cairan tubuh,
c)      mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan
d)     mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
e)     Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang.
f)     Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah.
g)    Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah.
Tahap Pembentukan Urine :
1. Filtrasi Glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.
pembentukan-urine
2.  Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.
3.  Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen.
Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular “perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya.
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium).
Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.

Bahan Bacaan
Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II. Jakarta: EGC
Pearce, Efelin C. 2006. Anatomi dan fisiologi untuk paramedic Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Syaifuddin. 1997. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat. Jakarta: EGC
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC

sumber : NursigBegin.com

Anatomi Fisiologi Airway Breathing


Anatomi Dan Fisiologi Airway Dan Breathing. Pengelolaan airway dan breathing berfungsi untuk mempertahankan oksigenasi otak dan bagian tubuh lainnya, merupakan  hal yang penting dalam penanganan penderita , jika tidak maka penderita akan meninggal dengan cepat.
Sistem respirasi memiliki dua fungsi utama, yaitu :
  1. Berfungsi menyediakan oksigen bagi sel darah merah yang kemudian akan membawa oksigen tersebut ke seluruh tubuh. Dalam proses metabolisme aerobik, sel tubuh menggunakan oksigen sebagai bahan bakar dan akan memproduksi karbon dioksida sebagai hasil sampingan.
  2. Pelepasan karbon dioksida dari tubuh merupakan tugas kedua dari sistem respirasi. Ketidakmampuan sistem respiratorik dalam menyediakan oksigen bagi sel atau melepaskan karbondioksida, akan menimbulkan kematian.
Kematian oleh karena masalah airway pada trauma disebabkan oleh :
  • Kegagalan dalam mengenal airway yang tersumbat sebagian atau ketidakmampuan penderita untuk melakukan ventilasi dengan cukup. Gabungan obstruksi jalan nafas dengan ketidak cukupan ventilasi dapat menyebabkan hipoksia sehingga akan mengancam nyawa. Keadaan seperti ini mungkin terlupakan bila ditemukan perlukaan yang nampaknya lebih serius.
  • Adanya kesulitan teknis dalam menjaga jalan nafas dan teknis membantu ventilasi. Intubasi yang salah akan memperburuk ventilasi dan dengan cepat dapat mengakibatkan kematian bila tidak dikenali secara dini.
  • Aspirasi isi gaster.
Anatomi Sistem Pernafasan
Sistem pernafasan terdiri dari jalan nafas atas, jalan nafas bawah dan paru. Setiap bagian sistem ini memainkan peran yang penting dalam proses pernafasan, yaitu dimana oksigen dapat masuk ke aliran darah dan karbon dioksida dilepaskan.
Jalan Nafas Atas
Jalan nafas atas merupakan suatu saluran terbuka yang memungkinkan udara atmosfer masuk melalui hidung, mulut, dan bronkus hingga ke alveoli. Jalan nafas atas terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, laring, trakea. Udara yang masuk dari rongga hidung akan mengalami proses penghangatan, pelembaban dan penyaringan dari segala kotoran. Setelah rongga hidung dapat dijumpai daerah faring, mulai dari bagian belakang palatum mole sampai ujung bagian atas esofagus.
Faring terdiri atas tiga bagian, yaitu:
  1. Naso faring  (bagian atas) di belakang hidung.
  2. Orofaring (bagian tengah) dapat dilihat saat membuka mulut.
  3. Hipofaring (bagian akhir), sebelum menjadi laring.
Di bawah faring terdapat esofagus dan laring yang merupakan permulaan jalan nafas bawah. Di dalam laring terdapat pita suara dan otot-otot yang dapat membuatnya bekerja, serta terdiri dari tulang rawan yang kuat. Pita suara merupakan suatu lipatan jaringan yang mendekat di garis tengah.
Tepat diatas laring, terdapat struktur yang berbentuk daun yang disebut epiglotis. Epiglotis berfungsi sebagai pintu gerbang yang akan mengantarkan udara yang menuju trakea, sedangkan benda padat dan cair akan dihantarkan menuju esofagus. Dibawah laring, jalan nafas akan menjadi trakea yang terdiri dari cincin-cincin tulang rawan.
Jalan Nafas Bagian Bawah
Terdiri dari bronkus dan percabangannya serta paru-paru. Pada saat inspirasi udara masuk melalui jalan nafas atas menuju jalan nafas bawah sebelum mencapai paru-paru. Trakea terbagi menjadi dua cabang, yaitu bronkus utama kanan dan bronkus utama kiri. Masing-masing bronkus utama terbagi lagi menjadi beberapa bronkus primer dan kemudian terbagi lagi menjadi bronkiolus.
Fisiologi Sistem Pernafasan
Ketika udara atmosfer mencapai alveoli, oksigen akan bergerak dari alveoli melintasi membran alveolar kapiler dan menuju sel darah merah. Sistem sirkulasi kemudian akan membawa oksigen yang telah berikatan dengan sel darah merah menuju jaringan tubuh, dimana oksigen akan digunakan sebagai bahan bakar dalam proses metabolisme.
Pertukaran oksigen dan karbon dioksida pada membran alveolar kapiler dikenal dengan istilah difusi pulmonal. Setelah proses pertukaran gas selesai (kadar karbondioksida yang rendah) akan menuju sisi kiri jantung, dan akan dipompakan ke seluruh sel dalam tubuh.
Saat mencapai jaringan, sel darah merah yang teroksigenasi ini akan melepaskan ikatannya dengan oksigen dan oksigen tersebut digunakan untuk bahan bakar metabolisme. Juga karbondioksida akan masuk sel darah merah. Sel darah merah yang rendah oksigen dan tinggi karbondioksida akan menuju sisi kanan jantung untuk kemudian dipompakan ke paru-paru.
Hal yang sangat penting dalam proses ini adalah bahwa alveoli harus terus menerus mengalami pengisian dengan udara segar yang mengandung oksigen dalam jumlah yang cukup.
Proses pernafasan sendiri ada dua yaitu inspirasi (menghirup) dan ekspirasi (mengeluarkan nafas).
Inspirasi dilakukan oleh dua jenis otot:
  1. Otot interkostal, antara iga-iga. Pernafasan ini dikenal sebagai pernafasan torakal. Otot dipersarafi oleh nervus interkostalis (torakall 1 – 12)
  2. Otot diafragma, bila berkontraksi diafragma akan menurun. Hal ini dikenal sebagai pernafasan abdominal, dan persarafan melalui nerfus frenikus yang berasal dari cervikal 3-4-5.

Pusat pernafasan ada di batang otak, yang mendapat rangsangan melalui baro reseptor  yang terdapat di aorta dan arteri karotis. Melalui nervus frenikus dan nervus interkostalis akan menjadi pernafasan abdomino-torakal (pada bayi disebut torako-abdominal).
Dalam keadaan normal volume udara yang kita hirup saat bernafas  dikenal sebagai tidal volume. Bila membutuhkan oksigen lebih banyak maka akan dilakukan penambahan volume pernafasan melalui pemakaian otot-otot pernafasan tambahan.
Jika tidal volume adalah 7 cc/kg Berat Badan, maka pada penderita dengan berat 70 kg, tidal volumenya 500 cc. Dengan frekuensi nafas 14 kali / menit, maka volume permenit 500 × 14 = 7000 cc / menit.
Bila pernafasan lebih dari 40 kali / menit, maka penderita harus dianggap mengalami hipoventilasi (nafas dangkal). Baik frekuensi nafas maupun kedalaman nafas harus dipertimbangkan saat mengevaluasi pernafasan. Kesalahan yang sering terjadi adalah anggapan bahwa penderita dengan frekuensi nafas yang cepat berarti mengalami hiperventilasi.

sumber : NursingBegin.com