Pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta telah terbentuk Persatuan Sepakbola yang bersifat kebangsaan yang bernama Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia , disingkat PSSI dengan ketuanya Ir. Soeratin Sosrosugondo. Pembentukan persatuan nasional tersebut merupakan tindakan dari kalangan bangsa Indonesia, karena ingin mengatur oganisasinya sendiri. PSSI sejak tahun 1931 menyelenggarakan kompetisi tahunan antar kota/anggota, dan tidak ikut serta dalam pertandingan-pertandingan antar kota yang diadakan oleh Belanda.
Berkat
perkembangannya yang baik, pada tahun 1938 pihak Belanda melalui
persatuan sepakbolanya, Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU)
mengadakan pendekatan dan kerjasama dengan PSSI.
Jejak sepakbola ini dituruti oleh cabang olahraga Tennis dengan
berdirinya Persatuan Lawn tennis Indonesia (PELTI) pada tahun 1935 di
Semarang. Berkedudukan di Jakarta (waktu itu bernama Batavia), pada
tahun 1938 lahirlah Ikatan Sport Indonesia dengna singkatan ISI,
satu-satunya badan olahraga yang bersifat nasional dan berbentuk
federasi. Maksud dan tujuannya adalah untuk membimbing, menghimpun dan
mengkoordinir semua cabang olahraga, antara lain PSSI, PELTI dan
Persatuan Bola Keranjang Seluruh Indonesia (PBKSI), yang didirikan pada
tahun 1940. ISI sebagai koordinator cabang-cabang olahraga pada tahun
1938 pernah mengadakan Pekan Olahraga Indonesia , yang dikenal dengan
nama ISI – Sportweek, pekan olahraga ISI.
Serangan
Jepang secara mendadak pada tanggal 8 Desember 1941 terhadap Pearl
Harbour (Pelabuhan Mutiara) menimbulkan perang Pasifik. Dengan masuknya
Jepang ke Indonesia pada bulan Maret 1942, ISI oleh sebab berbagai
kesulitan dan rintangan, tidak bisa menggerakkan aktivitasnya
sebagaimana mestinya. Pada zaman Jepang gerakan keolahragaan ditangani
oleh suatu badan yang bernama GELORA, singkatan dari Gerakan Latihan
Olahraga , yang terbentuk pada masa itu. Tidak banyak peristiwa olahraga
penting tercatat pada zaman Jepang selama tahun 1942 – 1945, oleh
karena peperangan terus berlangsung dengan sengit dan kedudukan tentara
Nipon terus pula terdesak. Dengan sendirinya perhatian Pemerintah
militer Jepang tidak dapat diharapkan untuk memajukan kegiatan olahraga
di Indonesia. Dengan runtuhnya kekuasaan Jepang pada bulan Agustus
1945, kemerdekaan Indonesia membuka jalan selebar-lebarnya bagi bangsa
kita untuk menangani semua kegiatan olahraga di tanah air sendiri.
Kegiatan-kegiatan ini pada awal kemerdekaan belum dapat digerakkan
sepenuhnya, disebabkan perjuangan bangsa kita dalam mempertahankan dan
menegakkan kemerdekaan yang baru direbut itu, mendapat cobaan dan ujian.
Sebagai akibatnya timbullah pertempuran di berbagai tempat, yang
menjadi penghalang besar dalam mengadakan aktivitas keolahragaan secara
tertib dan teratur. Namun demikian, berkat usaha keras para tokoh
olahraga kita, pada bulan Januari 1946, bertempat di Habiprojo di kota
Solo diadakan kongres olahraga yang pertama di alam kemerdekaan.
Berhubung dengan suasana pada masa itu, hanya dihadiri oleh tokoh-tokoh
olahraga dari pulau Jawa saja.
Kongres
tersebut berhasil membentuk suatu badan olahraga dengan nama Persatuan
Olahraga Republik Indonesia (PORI) dengan susunan pengurus sebagai
berikut :
Ketua Umum : Mr. Widodo Sastrodiningrat
Wakil Ketua Umum : Dr. Marto Husodo
Sumali Prawirosoedirdjo
Sekretaris I : Sutardi Hardjolukito
Sekretaris II : Sumono
Bendahara I : Siswosoedarmo
Bendahara II : Maladi
Anggota : Ny. Dr. E. Rusli Joemarsono
Ketua Bagian Sepakbola : Maladi
Ketua Bagian Basketball (sementara) : Tonny Wen
Ketua Bagian Atletik : Soemali Prawirosoedirdjo
Ketua Bagian Bola Keranjang : Mr. Roesli
Ketua Bagian Panahan : S. P. Paku Alam
Ketua Bagian Tennis : P. Sorjo Hamidjojo
Ketua Bagian Bulutangkis : Sudjirin Tritjondrokoesoemo
Ketua Bagian Pencak Silat : Mr. Wongsonegoro
Ketua Bagian Gerak Jalan : Djuwadi
Ketua Bagian Renang (semengara) : Soejadi
Ketua Bagian Anggar/Menembak : Tjokroatmodjo
Ketua Bagian Hockey : G. P. H. Bintoro
Ketua Bagian Publikasi : Moh. Soepardi
Ketua Umum : Mr. Widodo Sastrodiningrat
Wakil Ketua Umum : Dr. Marto Husodo
Sumali Prawirosoedirdjo
Sekretaris I : Sutardi Hardjolukito
Sekretaris II : Sumono
Bendahara I : Siswosoedarmo
Bendahara II : Maladi
Anggota : Ny. Dr. E. Rusli Joemarsono
Ketua Bagian Sepakbola : Maladi
Ketua Bagian Basketball (sementara) : Tonny Wen
Ketua Bagian Atletik : Soemali Prawirosoedirdjo
Ketua Bagian Bola Keranjang : Mr. Roesli
Ketua Bagian Panahan : S. P. Paku Alam
Ketua Bagian Tennis : P. Sorjo Hamidjojo
Ketua Bagian Bulutangkis : Sudjirin Tritjondrokoesoemo
Ketua Bagian Pencak Silat : Mr. Wongsonegoro
Ketua Bagian Gerak Jalan : Djuwadi
Ketua Bagian Renang (semengara) : Soejadi
Ketua Bagian Anggar/Menembak : Tjokroatmodjo
Ketua Bagian Hockey : G. P. H. Bintoro
Ketua Bagian Publikasi : Moh. Soepardi
Dalam
kongres ini mulanya dimajukan dua nama lainnya, yang akan diberikan
kepada badan olahraga yang bakal dibentuk itu, yaitu ISI dan GELORA.
Keduanya tidak terpilih dan sebagai kesimpulan rapat, diremikanlah
berdirinya PORI dengan pengakuan Pemerintah, sebagai satu-satunya badan
resmi persatuan olahraga, yang mengurus semua kegiatan olahraga di
Indonesia. Fungsinya sama dengan ISI.
Sesuai
dengan fungsinya, PORI adalah juga sebagai koordinator semua cabang
olahraga dan khusus mengurus kegiatan-kegiatan olahraga dalam negeri.
Dalam hubungan tugas keluar, berkaitan dengan Olimpiade dan
International Olympic Committee (IOC), Presiden R.I. telah melantik
Komite Olympiade Republik Indonesia (KORI) yang diketuai oleh Sultan
Hamengku Buwono IX dan berkedudukan di Yogyakarta.
Bagi
Indonesia telah tiba saatnya untuk menempuh langkah-langkah
seperlunya, agar negara kita dapat ikut serta di Olimpiade – London
pada tahun 1948. Olimpiade yang ke 14 ini adalah yang pertama setelah
perang dunia kedua usai dan sejak tahun 1940 terpaksa ditiadakan selama
delapan tahun. Usaha Indonesia untuk mendapat tiket ke London banyak
menemui kesulitan. Setelah agresi pertama dilancarkan Belanda pada
tanggal 21 Juli 1947, Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim terbang ke Lake
Succes dan di forum Internasional (baca Sidang Umum PBB) kedua
negarawan dan diplomat ulung ini dengan gigih memperjuangkan pengakuan
dunia atas kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.
PORI
sebagai badang olahraga resmi di Indonesia belum menjadi anggota,
International Olympic Committee (IOC), sehingga para atlet yang bakal
dikirim tidak dapat diterima berpartisipasi dalam peristiwa olahraga
sedunia. Pengakuan dunia atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia yang
belum diperoleh pada waktu itu menjadi penghalang besar dalam usaha
menuju London. Paspor Indonesia tidak diakui oleh Pemerintah Inggris,
bahwa atlet-atlet Indonesia bisa ikut ke London dengan memakai paspor
Belanda, tidak dapat diterima, karena kita hanya mau hadir di London
dengan mengibarkan Dwi Warna Sangsaka Merah Putih. Alasan yang disebut
belakangan inilah juga menyebabkan rencana kepergian beberapa anggota
pengurus besar PORI ke London menjadi batal.
Masalah ini telah dibahas oleh konferensi darurat pada tanggal 1 Mei 1948 di Solo.
Mengingat dan memperhatikan pengiriman para atlet dan beberapa anggota pengurus besar PORI ke London sebagai peninjau tidak membawa hasil seperti diharapkan semla konferensi sepakat untuk mengadakan pekan olahraga, yang direncanakan berlangsung pada bulan Agustus/September 1948 di Solo. PORI ingin menghidupkan kembali Pekan Olahraga yang pernah diadakan ISI pada tahun 1938, terkenal dengan nama ISI sportweek, Pekan Olahraga ISI. Kongres olahraga pertama diadakan di Solo pada tahun 1946 yang berhasil membentuk PORI.
Mengingat dan memperhatikan pengiriman para atlet dan beberapa anggota pengurus besar PORI ke London sebagai peninjau tidak membawa hasil seperti diharapkan semla konferensi sepakat untuk mengadakan pekan olahraga, yang direncanakan berlangsung pada bulan Agustus/September 1948 di Solo. PORI ingin menghidupkan kembali Pekan Olahraga yang pernah diadakan ISI pada tahun 1938, terkenal dengan nama ISI sportweek, Pekan Olahraga ISI. Kongres olahraga pertama diadakan di Solo pada tahun 1946 yang berhasil membentuk PORI.
Ditilik
dari penyediaan sarana olahraga, Solo dapat memenuhi persyaratan
pokok, dengan adanya stadion Sriwedari serta kolam renang, dengan
catatan Sriwedari pada masa itu, termasuk yang terbaik di Indonesia.
Tambahan pula pengurus besar PORI berkedudukan di Solo dan hal-hal
demikianlah menjadi bahan-bahan pertimbangan bagi konferensi untuk
menetapkan kota Solo sebagai kota penyelenggara Pekan Olahraga nasional Pertama (PON I) pada tanggal 8 s/d 12 September 1948.
Dengan
mengemukakan hal-hal yang telah diuraikan di atas, kota Solo jelas
telah menulis suatu riwayat di bidang olahraga dan hal ini akan terpatri
sepanjang masa dalam sejarah bangsa Indonesia. Menggembirakan, karena
juga di bidang lain, kota Solo telah menulis riwayatnya. Komponis
terkenal Gesang, telah menggubah sebuah lagu, yang sangat laris pada
zamannya, Bengawan Solo, riwayatmu ini. Kota Solo dengan berbagai
riwayatnya telah menjadi kota kenangan, harus selalu dikenang, baik di
bidang olahraga, maupun di bidang kesenian dan kebudayaan
Maksud dan tujuan penyelenggaraan PON I
adalah untuk menunjukkan kepada dunia luar, bahwa bangsa Indonesia, di
tengah-tengah dentuman meriam, dalam keadaan daerahnya dipersempit
sebagai akibat Perjanjian Renville, tegasnya dalam keadaan darurat,
masih dapat membuktikan, sanggup menggalang persatuan dan kesatuan
bangsa, yang berbeda-beda suku dan agamanya, akan tetapi tetap bersatu
kokoh dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Disadur dari http://www.koni.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar